Refleksi Senyap di Hari Guru: Menemukan Makna Sejati di Tengah Deru Kurikulum

Hari ini, 25 November 2025, denting jam sekolah terasa sedikit berbeda. Bukan sekadar hari libur atau upacara seremonial, bagi kami para pendidik, Hari Guru Nasional adalah jeda yang sunyi. Di antara kiriman karangan bunga, ucapan selamat dari murid, dan janji-janji perbaikan sistem pendidikan, ada satu hal yang tak terhindarkan: refleksi.

Saya, salah satu guru dari SDN 37 Kendo kota Bima, telah mengabdikan diri  20 tahun di Sekolah  ini. Saya telah menyaksikan bergantinya kurikulum, berubahnya tren teknologi, dan tentu saja, pergantian generasi anak didik. Namun, inti dari pekerjaan ini—jantung dari profesi guru—tetap sama, dan justru itulah yang paling layak direnungkan.

 Lebih dari Sekadar Transfer Pengetahuan

Kita sering disibukkan dengan target nilai, akreditasi, dan tuntutan administrasi. Semua itu penting. Namun, pada momen refleksi ini, saya menyadari bahwa dampak paling abadi dari seorang guru bukanlah berapa banyak ilmu yang berhasil saya ajarkan, melainkan:

  • Menyentuh Jiwa yang Tersembunyi: Keberhasilan sejati adalah ketika saya berhasil melihat potensi di balik mata seorang anak yang pemalu, atau menemukan bakat terpendam di balik kegelisahan seorang remaja.
  • Mengajarkan Empati: Tugas kita bukan hanya mengisi 'wadah' ilmu, tapi juga membimbing 'kompas' moral mereka. Melihat murid berani membela temannya yang dibully, itu adalah kurikulum terpenting yang pernah saya ajarkan.
  • Menjadi Jangkar Stabilitas: Bagi sebagian murid, kelas adalah satu-satunya tempat mereka merasa aman, didengar, dan dihargai. Guru sering kali menjadi figur stabil di tengah badai kehidupan pribadi mereka.

 Tantangan yang Menjadi Panggilan

Tentu saja, jalan ini tidak mulus. Beban administrasi yang berat, , dan tantangan menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat seringkali menguras energi. Ada hari-hari ketika saya bertanya-tanya, "Apakah saya sudah melakukan yang terbaik?"

Namun, refleksi ini membawa kembali semangat. Tantangan ini bukan hambatan, melainkan panggilan untuk beradaptasi. Kami harus:

  1. Menjadi Pembelajar Abadi: Kami tidak boleh berhenti belajar, baik tentang materi baru maupun cara mendekati siswa yang kini hidup di dunia digital.
  2. Menemukan Jaringan: Kami butuh komunitas guru yang saling mendukung. Kami berjuang bersama, dan keberhasilan seorang guru adalah keberhasilan kolektusif.
  3. Menghargai Proses: Nilai sempurna bukanlah tujuan utama. Kegigihan, kemampuan bangkit dari kegagalan, dan rasa ingin tahu yang tak padam, itulah warisan yang harus kita tanamkan.

 Ucapan Terima Kasih untuk Diri Sendiri

Di Hari Guru ini, izinkan saya tidak hanya berterima kasih kepada pemerintah atau orang tua murid, tetapi juga berterima kasih kepada diri saya sendiri dan rekan-rekan guru lainnya:

  • Terima kasih karena tetap setia pada panggilan, meski masih banyak hal yang belum sepenuhnya dihargai dengan baik..
  • Terima kasih karena melihat setiap anak sebagai individu yang unik, bukan sekadar data statistik.
  • Terima kasih karena tetap berjuang untuk menyalakan lilin, di tengah kegelapan keraguan.

Selamat Hari Guru Nasional. Mari kita jadikan jeda refleksi ini sebagai energi baru untuk kembali ke ruang kelas besok, dengan hati yang lebih penuh dan semangat yang lebih menyala.


Yusmirah